Sistem Pelayanan Kesehatan dan SKN

Pengantar sistem pelayanan kesehatan Polewali Mandar Sulawesi Barat.– Sistem, Sub Sistem dan Supra Sistem serta Analisis dari Sistem Pelayanan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah judul dari tulisan (makalah) ini. ……. Anda Bisa Langsung Mengkliknya……….. Penulis buat berdasarkan pengalaman dalam mengelola program baik semasa bekerja di puskesmas maupun sebagai koordinator kerja sama dari beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) Nasional Misalnya Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS) ataupun organisasi internasional misalnya Unicef dan berbagai pengalaman lainnya tentang penerapan konsep sistem dalam melaksanakan tugas kesehatan sehari-hari. Dalam pengelolaan program tersebut pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sistem Input-Proses-Output yang disingkat IPO. Sistem yang dimaksud disini adalah pengertian bebas yaitu satu kesatuan usaha yang terdiri dari berbagai elemen / bagian-bagian yang berkaitan secara teratur dan berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan. Dari definisi ini, dicoba diuraikan secara tuntas aplikasi supra sistem kemudian ke sistem lalu ke sub sistem dan analisis . Sebagai contoh diambil Sistem Pelayanan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Dan yang menarik lagi dari tulisan ini adalah rancangan kegiatan sederhana berdasarkan pendekatan sistem lengkap dengan contoh. Tulisan ini sangat baik bagi mereka yang bekerja dipuskesmas dan juga yang akan bekerja di puskesmas serta bagi mereka yang akan melakukan pembinaan puskesmas. Baca selengkapnya di atau Klik Di Sini : Sistem, Sub Sistem dan Supra Sistem serta Analisis dari Sistem Pelayanan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) ____________________________________________________________ Artikel lain yang perlu ANDA TAHU Memaknai Kesehatan Sebagai Hak Asasi Manusia dan Kesehatan sebagai Investasi Sistem Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Bedah Konsep Strategi RPJPM 2007-2012 Propinsi Sulawesi Barat Tampa Arah Kunjungan Pertama Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Barat di Dinas Kesehatan Polewali Mandar Di Balik Layar Kepemimpinan dan Mutasi Kepala DInas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar Perdebatan Angka Kematian Ibu Selamat Jalan BKKBN Polewali Mandari Peran Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Dalam Pemberdayaan Masyarakat dan Penyediaan Air Bersih Pedesaan ———————————————————————————————————————————————– Struktur pelayanan kesehatan Struktur Organisasi Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya dibantu oleh satu Sekretariat dan empat Bidang. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2009. Keterangan: KEPALA DINAS KESEHATAN : dr. Esty Martiana Rachmie SEKRETARIAT : Nanik Sukristina SKM, M.Kes. Sub. Bagian Penyusunan Program : drg. Primayanti Sub. Bagian Tata Usaha : drg. Susilorini Sub. Bagian Keuangan dan Perlengkapan : Niken Nirwana PNA, Amd. Gizi KEPALA BIDANG PELAYANAN KESEHATAN : dr. Sri Setyani Seksi Kesehatan Dasar : dr. Kartika Sri Redjeki Seksi Kesehatan Rujukan : drg. Verra Puspasari Tanoyo Seksi Kesehatan Khusus : Sufiah Rachmawati, SKM KEPALA BIDANG PENGENDALIAN MASALAH KESEHATAN : dr. Mira Novia Seksi Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit : dr. Daniek Suryaningdyah Seksi Wabah dan Bencana : dr. Ponco Nugroho Bangun FR. Seksi Kesehatan Lingkungan : Nur Ilmiah, SKM KEPALA BIDANG PENGEMBANGAN SDM KESEHATAN : drg. Yohana Sussie Emissa Seksi Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan : drg. Migit Supriati Seksi Pendidikan dan Pelatihan SDM Kesehatan : Hariyanto, SKM Seksi Registrasi dan Akreditasi : Lilik Endang P, SKM KEPALA BIDANG JAMINAN & SARANA KESEHATAN : drg. Bisukma Kurniawati Seksi Jaminan Kesehatan : Marisulis Setyowati, SKM Seksi Sarana dan Peralatan Kesehatan : Luna Qonita S.Si, Apt. Seksi Kefarmasian : Ummul Jariyah S.Si, Apt Pelaksanaan pelayanan kesehatan Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) Diposting oleh : Administrator Kategori: Kesehatan - Dibaca: 5236 kali Remaja merupakan kelompok yang unik dengan kebutuhan yang khas, yaitu kebutuhan untuk mengenal identitas/ jati dirinya. Dalam memenuhi kebutuhannya tersebut, remaja cenderung untuk menerima tantangan atau coba-coba melakukan sesuatu tanpa didahului pertimbangan matang, yang akhirnya dapat mendorong remaja ke arah perilaku berisiko yang dapat menimbulkan berbagai masalah yang akan mempengaruhi kesehatannya. Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan pesat baik fisik, psikologis maupun intelektual. Remaja mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung resiko atas perbuatannya tanpa didahului oleh pertimbangan matang, dan rasa ingin tahu tersebut dihadapkan pada ketersediaan sarana di sekitarnya yang dapat memenuhi keingintahuannya Permasalahan kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja meliputi Hubungan Seksual Pra Nikah (HSPN), aborsi yang tidak aman (Unsaved Abortion), hubungan seksual yang bebas dan tidak bertanggung jawab, penyalahgunaan narkotika dan alkohol, merokok, penularan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV-AIDS (Human Immunodeficiency Virus dan Aquired Immunodeficiency Syndrome), Kehamilan Tak Diinginkan (KTD) dan aborsi hingga kasus pernikahan dini Ditemukan fakta ternyata banyak remaja yang sudah aktif secara seksual, meskipun tidak selalu atas kehendak sendiri, dan dibeberapa negara berkembang kira-kira separuh dari mereka sudah menikah. Aktifitas seksual dini yang tidak bertanggung jawab menempatkan remaja menghadapi berbagai tantangan resiko kesehatan reproduksi. Diseluruh dunia pada tahun 1997 diperkirakan 15 juta jiwa lebih remaja putri berusia 15-19 tahun yang melahirkan, 4 juta diantaranya melakukan unsafe abortion dan hampir 100 juta orang remaja yang terkena IMS. Secara global pun didapatkan data 40% dari total kasus HIV terjadi pada kaum muda yang berusia 15-24 tahun atau diperkirakan lebih dari 7.000 remaja terinfeksi HIV setiap harinya Sedangkan di Indonesia sendiri, ditemukan prediksi sekitar 700.000 kasus aborsi pada tahun 2003 dan 50% termasuk unsafe abortion. KTD pada remaja Indonesia juga diestimasikan meningkat setiap tahunnya sebesar 150.000-200.000, 10% remaja usia 15-19 tahun sudah menikah dan memiliki anak. Berbagai risiko kesehatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, misalnya tuntutan kawin muda dan berhubungan seksual, kurangnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketimpangan gender, kekerasan seksual, pengaruh negatif media massa dan kemajuan teknologi, maupun gaya hidup modern yang bebas Pendidikan kesehatan reproduksi dapat meningkatkan pengetahuan remaja terhadap pentingnya kesehatan reproduksi, sehingga remaja dapat bertanggung jawab atas keputusannya mengenai perilaku seksual. United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (2009) mengemukakan pendidikan seksual dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab terhadap perilaku seksual remaja. Untuk meningkatkan status kesehatan khususnya remaja yang bersekolah maupun tidak bersekolah, Kemeterian Kesehatan RI telah mengembangkan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) yang menekankan kepada petugas yang peduli remaja, menerima remaja dengan tangan terbuka dan menyenangkan, lokasi pelayanan mudah dijangkau, aman, menjaga kerahasiaan, kenyamanan dan privasi, tidak ada stigma. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) adalah Pelayanan Kesehatan yang Peduli Remaja, melayani semua remaja dalam bentuk konseling dan berbagai hal yang berhubungan dengan kesehatan remaja. Disini remaja tidak perlu ragu dan khawatir untuk curhat/konseling, mendapatkan informasi yang benar dan tepat untuk berbagai hal yang perlu diketahui remaja. Sasaran dari Pelayanan Kesehatan peduli Remaja (PKPR) ini adalah Semua remaja dimana saja berada baik di sekolah atau di luar sekolah seperti karang taruna, remaja mesjid/gereja/vihara/pura, pondok pesantren, asrama, dan kelompok remaja lainnya. Jenis kegiatan dalam PKPR adalah pemberian informasi dan edukasi, pelayanan klinis medis termasuk pemeriksaan penunjang, konseling, pendidikan Keterampilan hidup sehat (PKHS), pelatihan Peer Counselor/ Konselor sebaya dan pelayanan rujukan sosial dan medis Pelayanan kesehatan sekolah ini meliputi pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan perkembangan kecerdasan, pemberian imunisasi, penemuan kasus-kasus dini yang mungkin terjadi, pengobatan sederhana, pertolongan pertama serta rujukan bila menemukan kasus yang tidak dapat ditanggulangi di sekolah. Pelayanan kesehatan sekolah ini meliputi pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan perkembangan kecerdasan, pemberian imunisasi, penemuan kasus-kasus dini yang mungkin terjadi, pengobatan sederhana, pertolongan pertama serta rujukan bila menemukan kasus yang tidak dapat ditanggulangi di sekolah. Demi keberhasilan dalam pengembangan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) digunakan strategi sebagai berikut : Pemenuhan sarana dan prasarana dilaksanakan secara bertahap. Penyertaan remaja secara aktif. Penentuan biaya pelayanan serendah mungkin. Dilaksanakan kegiatan minimal.Pemberian KIE, pelaksanaan konseling serta pelayanan klinis medis termasuk rujukan. Tanpa konseling pelayanan tidak akan disebut PKPR. Ketepatan penentuan prioritas sasaran. Misalnya Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) diperuntukkan bagi remaja yang ada di sekolah. Ketepatan pengembangan jenis kegiatan. Perluasan kegiatan minimal PKPR ditentukan sesuai dengan masalah dan kebutuhan setempat serta sesuai dengan kemampuan puskesmas. Pelembagaan monitoring dan evaluasi internal. Monitoring dan evaluasi secara berkala dilakukan oleh tim dari puskesmas dan tim dari Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten. Persiapan dalam pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja adalah : Sosialisasi internal Bertujuan untuk mendapatkan kesepakatan semua staf puskesmas untuk menyelenggarakan PKPR di Puskesmas. Penunjukan petugas pengelola Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Pembentukan Tim PKPR. Tim terdiri dari dokter puskesmas, paramedis, petugas UKS, petugas penyuluh, petugas gizi dan petugas lain yang dibutuhkan. Penentuan jenis kegiatan, pelayanan serta siapa yang menjadi sasaran dalam pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR) Pemenuhan sarana dan prasarana di puskesmas maupun di sekolah. Baik di puskesmas maupun di sekolah harus disediakan ruangan khusus pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR), karena dalam kegiatannya ada konseling bagi remaja, tanpa disediakan ruangan khusus dikuatirkan kerahasiaan masalah yang disampaikan oleh remaja tidak akan terjamin. Pelatihan Peer Counselor/ konselor sebaya bagi remaja yang ada di sekolah. Manfaat Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja ( PKPR) adalah : Menambah wawasan dan teman melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan, dialog interaktif, Focus Group Discussion (FGD), seminar, jambore, dll. Konseling/curhat masalah kesehatan dan berbagai masalah remaja lainnya (dan kerahasiaannya dijamin). Remaja dapat menjadi peer counselor/kader kesehatan remaja agar dapat ikut membantu teman yang sedang punya masalah. Pendidikan kesehatan dapat berupa mata pelajaran ilmu kesehatan atau upaya-upaya lain yang disisipkan dalam ilmu�ilmu lain seperti olah raga dan kesehatan, ilmu pengetahuan alam dan sebagainya. Selain melalui pelajaran, pendidikan kesehatan juga dapat diperkenalkan melalui pendidikan kesehatan yang disisipkan pada kegiatan ekstrakurikuler untuk menanamkan perilaku sehat peserta didik. Dengan adanya dukungan dari pihak sekolah atau pendidikan diharapkan dapat meminimalisir kejadian atau masalah yang berhubungan dengan remaja. DIAN FADHLINA (Dinas Kesehatan Kab. Sijunjung). Sistem rujukan Definisi Sistem Rujukan adalah system yang dikelola secara strategis, pragmatis, merata proaktif dan koordinatif untuk menjamin pemerataan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang paripurna dan komprehensif bagi masyarakat yang membutuhkannya terutama bagi ibu dan bayi baru lahir, dimanapun mereka berada dan berasal dari golongan ekonomi manapun, agar dapat dicapai peningkatan derajat kesehatan ibu hamil dan bayi melalui peningkatan mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal di wilayah mereka berada. Sesuai SK Menteri Kesehatan Nomor 23 tahun 1972 tentang system rujukan adalah suatu system penyelenggaraan pelayanan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal balik terhadap suatu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertical dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu atau secara horizontal dalam arti unit-unit yang setingkat kemampuannya. Tujuan Depkes Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat serta meningkatkan mutu pelayanan kesehatan masyarakat melalui peningkatan dan mekanisme rujukan berjenjang antar puskesmas dengan RS Dati II, RS Dati I dan RS tingkat pusat dan labkes dalam suatu system rujukan, sehingga dapat mendukung upaya mengurangi kematian ibu hamil dan melahirkan dan angka kematian bayi. Tugas Sistem Rujukan Memeratakan pelayanan kesehatan melalui system jaringan pelayanan kesehatan mulai dari Dati II sampai pusat karena keterbatasan sumber daya daerah yang seyogyanya bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di wilayahnya. Syarat Rujukan · Adanya unit yang mempunyai tanggung jawab baik yang merujuk maupun yang menerima rujukan · Adanya pencatatan tertentu : ü Surat rujukan ü Kartu Sehat bagi klien yang tidak mampu ü Pencatatan yang tepat dan benar ü Kartu monitoring rujukan ibu bersalin dan bayi (KMRIBB) · Adanya pengertian timbal balik antar yang merujuk dan yang menerima rujukan · Adanya pengertian tugas tentang system rujuikan · Sifat rujukan horizontal dan vertical (kearah yang lebih mampu dan lengkap). Jenis Rujukan · Rujukan medis : o Rujukan pasien, o Rujukan pengetahuan, dan o Rujukan laboratorium atau bahan pemeriksaan. · Rujukan Kesehatan : o Rujukan ilmu pengetahuan, teknologi dan ketrampilan, misalnya :pengiriman dokter ahli terutama ahli bedah, kebidanan dan kandungan, penyakit dalam dan dokter anak dari RSU Provinsi ke RSU Kabupaten o Pengiriman asisten ahli senior ke RS Kabupaten yang belum ada dokter ahli dalam jangka waktu tertentu. o Pengiriman tenaga kesehatan dari puskesmas RSU Kabupaten ke RS Provinsi. o Alih pengetahuan dan ketrampilan di bidang klinik, manajemen dan pengoperasian peralaan. · Rujukan Manajemen o Pengiriman informasi o Obat, biaya, tenaga, peralatan o Permintaan bantuan : survey epidemiologi, mengatasi wabah (KLB) Manfaat Rujukan a. Dari sudut pandang pemerintah sebagai penentu kebijakan § Membantu penghematan dana, karena tidak perlu menyediakan berbagai macam alat kedokteran pada setiap sarana kesehatan. § Memperjelas system pelayanan kesehatan, kemudian terdapat hubungan antara kerja berbagai sarana kesehatan yang tersedia. § Memudahkan pekerjaan administrasi, terutama pada aspek perencanaan b. Dari sudut masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan § Meringankan biaya pengobatan, karena dapat dihindari pemeriksaan yang sama secara berulang-ulang § Mempermudah masyarakat dalam mendapatkan pelayanan, karena telah diketahui dengan jelas fungsi dan wewenang setiap sarana pelayanan kesehatan c. Dari sudut tenaga kesehatan § Memperjelas jenjang karir tenaga kesehatan dengan berbagai akibat positif, semangat kerja, ketekunan dan dedikasi. § Membantu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan melalui jalinan kerjasama § Memudahkan/ meringankan beban tugas, karena setiap sarana kesehatan mempunyai tugas dan kewajiban tertentu Alur Pelayanan Rujukan Kegawatdaruratan Obstetri dan Neonatal Sistem rujukan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal mengacu pada prinsip utama kecepatan dan ketepatan tindakan, efisien, efektif an sesuai dengan kemampuan dan kewenangan fasilitas pelayanan. Setiap kasus dengan kegawatdaruratan obstetric dan neonatal yang datang ke Puskesmas PONED harus langsung dikelola sesuai Prosedur tetap sesuai dengan Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Setelah dilakukan stabilisasi kondisi pasien, kemudian ditentukan apakah pasien akan dikelola di tingkat Puskesmas PONED atau dilakukan rujukan ke RS PONEK untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik sesuai dengan tingkat kegawatdaruratannya. · Masyarakat dapat langsung memanfaatkan semua fasilitas pelayanan kegawatdaruratan obstetric dan neonatal. · Bidan didesa dan Polindes dapat memberikan pelayanan langsung terhadap ibu hamil/ ibu bersalin dan ibu nifas baik yang datang sendiri atau atas rujuka kader/ masyarakat. Selain menyelenggarakan pelayanan pertolongan persalinan normal, bidan di desa dapat melakukan pengelolaan kasus dengan komplikasi tertentu sesuai dengan tingkat kewenangan dan kemampuannya atau melakukan rujukan pada Puskesmas, Puskesmas PONED dan Rumah Sakit PONEK sesuai dengan tingkat pelayanan yang sesuai. · Puskesmas non PONED sekurang – kurangnya harus mampu melakukan stabilisasi pasien dengan kegawatdaruratan obetetri dan neonatal yang datang sendiri maupun dirujuk oleh kader/ dukun/ bidan di desa sebelum melakukan rujukan ke Puskesmas PONED dan Rumah Sakit PONEK. · Puskesmas PONED memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan langsung terhadap ibu hamil/ ibu bersalin/ ibu nifas dan bayi baru lahir yang datang sendiri atau atas rujukan kader/ masyarakat, bidan di desa dan Puskesmas. Puskesmas PONED dapat melakukan pengelolaan kasus dengan komplikasi tertentu sesuai dengan tingkat kewenangan dan kemampuannya atau melakukan rujukan pada Rumah Sakit PONEK. Beberapa permasalahan dengan sistem pelayanan kesehatan yang ada Permasalahan Kesehatan Reproduksi & Seksual Remaja Bali kisaraLebih dari seperempat masalah pacaran yang masuk ke konseling telepon lembaga KISARA PKBI Bali hasil pencatatan hingga Juli tahun 2005, berkaitan dengan aktivitas seksual remaja, dan terdapat kecenderungan mereka baru berkonsultasi setelah seksual aktif. Awal keterlibatan mereka dalam hubungan seksual pranikah sebagian disebutkan karena coba-coba dan tanpa direncanakan, karena terbawa suasana dan adanya dorongan seksual muncul karena ada pengaruh dari beberapa media pornografi yang pernah diakses.Dalam sebuah konseling tatap muka juga sempat terekam ada seorang remaja SMP kelas 2 yang sudah terpengaruh akan kebiasaan bermasturbasi yang terlalu berlebihan, awalnya kebiasaan ini pun karena coba-coba akibat ajakan dan pengaruh teman-teman sebayanya. Itu adalah baru sebagian dari permasalan remaja yang berkaitan dengan aktivitas seksual. Belum lagi kasus-kasus kekerasan seksual, kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada remaja, aborsi remaja, pernikahan usia muda dan sejenisnya, yang nampaknya masih belum banyak diangkat secara mendalam, baru dibahas permukaannya saja, sehingga seolah-olah problem ini dianggap kasus yang semakin biasa terdengar dan tidak begitu penting untuk dikaji lebih jauh. Menurut WHO batasan usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun. Sementara menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional/ BKKBN (Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi) batasan usia remaja adalah 10 sampai 21 tahun. Dalam pendampingan oleh KISARA PKBI Bali, usia 10 sampai dengan 24 tahun adalah sasaran utama program komunikasi, informasi dan edukasi tentang kesehatan reproduksi, seksual, termasuk hak reproduksi, HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba. Arus informasi melalui media masa baik berupa majalah, surat kabar, tabloid maupun media elektronik seperti radio, televisi, dan komputer, mempercepat terjadinya perubahan. Meskipun arus informasi ini menunjang berbagai sektor pembangunan, namun arus informasi ini juga melemahkan sistem sosial ekonomi yang menunjang masyarakat Indonesia. Remaja merupakan salah satu kelompok penduduk yang mudah terpengaruh oleh arus informasi baik yang negatif maupun yang positif. Perbaikan status wanita, yang terjadi lebih cepat sebagai akibat dari transisi demografi dan program keluarga berencana telah mengakibatkan meningkatnya umur kawin pertama dan bertambah besarnya proporsi remaja yang belum kawin. Hal ini adalah akibat dari makin banyaknya remaja baik laki-laki maupun perempuan yang meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi dan makin banyaknya remaja yang berpartisipasi dalam pasar kerja. Panjangnya waktu dalam status lajang maupun kesempatan mempunyai penghasilan mempengaruhi remaja untuk berperilaku berisiko antara lain menjalin hubungan seksual pranikahl, minuman keras, narkoba yang dapat mengakibatkan kehamilan tidak diinginkan dan risiko reproduksi lainnya, juga tertular infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS. BEBERAPA KAJIAN Beberapa hal yang perlu disebutkan dalam kajian di sini antara lain adalah yang pertama, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada pertemuan “Gawe Bareng Remaja” April 2005 di Yogyakarta menyebutkan bahwa masalah remaja Indonesia pada intinya hampir sama, yaitu: minimnya pengetahuan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi karena terbatasnya akses informasi dan advokasi remaja, tidak adanya akses pelayanan yang ramah remaja, belum adanya kurikulum Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) di sekolah, masih terbatasnya institusi di pemerintah yang menangani remaja secatra khusus dan belum ada undang-undang yang mengakomodir hak-hak remaja. Departemen Pendidikan Nasional dalam pertemuan dan Lokakarya Nasional Kehamilan Tidak Diinginkan di akhir Nopember 2005 lalu menyebutkan bahwa pada intinya mereka menyetujui bahwa KRR itu penting dan sudah diupayakan diberikan secara umum melalui mata pelajaran Penjaskes, IPA dan Agama, tetapi secara khusus masih dalam kuantitas yang sangat sedikit (2 jam) di Penjaskes SMA bila dilihat dari kurikulum nasional 1994. Dan disimpulkan pula bahwa sesungguhnya pendidikan KRR di sekolah masih belum berjalan. Hal ini dikarenakan ketidaksiapan tenaga pendidik, terbatasnya bahan ajar bagi guru, masih dianggap tabu dan banyaknya hambatan kultural. Sehingga perlu sekali terobosan yang dilakukan baik lewat jalur kurikuler, ekstrakurikuler maupun kegiatan khusus bekerjasama dengan lembaga lain. Lewat jalur kurikuler sudah ada pengembangan dengan diupayakan lewat kurikulum 2004 yang memasukkan materi “Sistem Reproduksi Manusia” pada mata pelajaran Biologi di kelas II SMA. Dalam Simposium Nasional Pentingnya Pendidikan Seks buat Remaja, tahun 2002 yang lalu disebutkan juga bahwa tantangan dalam pelaksanaan program-program KRR di Indonesia, antara lain : tidak adanya aturan hukum yang mendukung.Undang-Undang Kependudukan No.10 tahun 1992 masih menyebutkan melarang pemberian informasi seksual dan pelayanan bagi orang yang belum menikah, meningkatnya angka kejadian seks pranikah, faktor-faktor demografi berupa : meningkatnya usia perkawinan, migrasi desa ke kota yang sangat cepat, perubahan sosial yang terjadi sebagai akibat dari : 1) break down in social and family support systems, 2) rising school enrolment at high school and university leads to separation of young people from family, 3) rising exposure to mass-media, girl/boy relationships, access to illicit materials, 4) increasing number of adolescent girls enter into sex industry for economic reasons BKKBN Propinsi Bali, dalam koordinasinya di tahun 2004 menyampaikan bahwa permasalahan KRR adalah sangat penting karena: jumlah remaja yang sangat besar dan remaja adalah aset masa depan, tetapi remaja justru berada dalam periode transisi yang penuh gejolak. Beberapa tantangan yang dihadapi di Bali adalah minimnya sarana dan prasarana, kurangnya melibatkan remaja dalam perencanaan program BKKBN dan sikap stakeholders yang masih belum kondisif, misalnya dalam diskusi tentang pendidikan KRR di sekolah maupun wacana penggunaan kondom dalam kampanye seks yang aman. Dalam hal penanganan HIV/AIDS yang juga tidak bisa lepas dari isu KRR, Komisi Penanggulangan AIDS daerah Bali dalam jumpa pers dalam rangka Hari AIDS Sedunia 2005 kemarin menyebutkan bahwa respon yang diberikan terhadap perkembangan kasus HIV/AIDS itu begitu lamban. Karena sebagian masyarakat kita termasuk beberapa pejabat pimpinan daerah masih menganggap HIV/AIDS belum merupakan ancaman serius. Yang kedua adalah karena masih adanya pandangan yang keliru yaitu berupa stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Semua ini bersumber dari kekurang pahaman mengenai sifat penyebaran penyakit tersebut. Upaya pencegahan dan penanggulangan yang masih diwarnai stigma dan diskriminasi akan menjadi melenceng. Bahkan cenderung melanggar HAM, merusak citra serta merugikan dan akhirnya menghambat upaya-upaya berikutnya. Masyarakat Bali yang didalam darahnya mengandung virus HIV kini diperkirakan sekitar 3000 orang (estimasi 2003) atau 4000 orang (estimasi 207). Mereka terutama tertular dari hubungan seks beresiko dan penggunaan jarum suntik narkoba bergantian. Mereka tersebar di seluruh Bali, meskipun masih terkonsentrasi di kota Denpasar, kabupaten Badung dan kabupaten Buleleng. Jika kita tidak berbuat apa-apa maka menurut ahli ilmu kesehatan masyarakat Prof. Dr.dr Dewa Wirawan, MPH peristiwa yang akan dialami Bali kira-kira akan sesuai dengan skenario berikut: sekitar 50% dari mereka yang saat ini HIV positif dalam kurun waktu 5 tahun akan memasuki fase AIDS. Kemungkinan sekali separuh dari pengidap AIDS itu yaitu sekitar 750 orang akan membutuhkan perawatan. Tempat tidur yang dimiliki oleh RSUP Sanglah yang merupakan pusat pelayan kesehatan rujukan saja ada sekitar 800an. Bisa jadi sebagian besarnya akan dihuni oleh pengidap AIDS. Belum lagi disusul gelombang penderita baru yang semakin banyak. Kebutuhan akan dokter, perawat, obat, alat dan sebagainya akan juga meningkat. Bahwa di Bali akan berlangsung “ngaben” massal bisa mendekati kenyataan. SEKILAS DATA Survei Kesehatan Remaja Indonesia (SKRRI) 2002-2003 yang dilakukan oleh BPS menyebutkan laki-laki berusia 20-24 tahun belum menikah yang memiliki teman pernah melakukan hubungan seksual sebanyak 57,5 persen dan yang berusia 15-19 tahun sebanyak 43,8 persen. Sedangkan perempuan berusia 20-24 tahun belum menikah yang memiliki teman pernah melakukan hubungan seksual sebanyak 63 persen. Perempuan berusia 15-19 tahun belum menikah yang memiliki teman pernah melakukan hubungan seksual sebanyak 42,3 persen. Hasil SKRRI 2002-03 menunjukkan bahwa hubungan seksual sebelum menikah umumnya masih ditolak. Namun dalam kondisi tertentu penduduk usia 15-24 tahun belum menikah memberikan toleransi yang cukup besar bagi seseorang melakukan seks pra nikah, terutama jika telah merencanakan untuk menikah. Sekitar 29,6 persen diantara laki-laki berusia 15-24 tahun belum menikah yang setuju dengan seks pra nikah menyatakan bahwa perilaku tersebut boleh dilakukan jika pasangan tersebut akan menikah dan 26,5 persen menyatakan bahwa perilaku tersebut boleh dilakukan jika pasangan tersebut saling mencintai. Litdikkespro Bali pada tahun 2003 menemukan 28,6% istri dari pasangan usia subur telah hamil sebelum perkawinan. Kemudian Depkes RI pada tahun 1995/1996 melakukan survey yang menyebutkan bahwa kehamilan remaja berusia 13-19 tahun di Bali sebanyak 5%. Dari bulan Agustus 2002 hingga Agustus 2003 KISARA PKBI Bali melakukan sebuah survey mengenai sikap dan prilaku pacaran dan aktivitas seksual pada siswa SMP kelas 3 hingga SMA kelas 1 (di bawah 17 tahun) di sekolah di daerah Denpasar, Badung,Tabanan dan Gianyar. Tercatat bahwa yang pernah pacaran adalah sejumlah 526 atau 23,75% dari total 2215 responden. Tidak satupun (0%) yang menyatakan bahwa hubungan seksual sebelum menikah itu boleh. Hal yang sama ditemukan pada pertanyaan apakah aktivitas petting, anal seks, oral seks diperbolehkan selama belum menikah. Yang diperbolehkan menurut responden adalah masturbasi, disebutkan oleh 44,15% responden, ciuman bibir (21,58%), cium kening/pipi (55,85). Tetapi ketika ditanyakan dengan aktivitas mana yang sudah mereka lakukan (dihitung dari yang sudah pernah pacaran), ditemukan data bahwa 2,28% sudah melakukan hubungan seksual, dan 0,57% sudah melakukan salah satu dari petting, anal seks, oral seks. Ciuman bibir sudah dilakukan oleh 13,12% responden yang sudah pernah pacaran, ciuman kening/pipi (26,24%), masturbasi dilakukan oleh 51,63% laki-laki, pada perempuan 3,32%. WHO memperkirakan 10-50% kematian ibu disebabkan oleh aborsi tergantung kondisi masing-masing negara. Diperkirakan di seluruh dunia setiap tahun dilakukan 20 juta aborsi tidak aman, 70.000 wanita meninggal akibat aborsi tidak aman dan 1 dari 8 kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. Di wilayah Asia tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya, di antaranya 750.000 sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia. Perkiraan jumlah aborsi di Indonesia setiap tahunnya cukup beragam. Hull, Sarwono dan Widyantoro (1993) memperkirakan antara 750.000 hingga 1.000.000 atau 18 aborsi per 100 kehamilan. Sedangkan sebuah studi terbaru yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia memperkirakan angka kejadian aborsi di Indonesia per tahunnya sebesar 2 juta (Utomo dkk 2001). Aborsi yang tidak aman saat ini di Indonesia berkontribusi terhadap 30-50% Angka Kematian Ibu (AKI). Ini merupakan yang tertinggi di ASEAN. Hasil studi PKBI sejak tahun 2000-2003 dari 37.000 kasus KTD, ternyata 27% di antaranya belum menikah, termasuk 12,5% di natranya masih berstatus pelajar atau mahasiswa. Studi ini melibatkan 9 kota, salah satunya Denpasar. Kemudian juga studi kualitatif PKBI selama tahun 2005 lalu menyebutkan bahwa persentase KTD remaja tertinggi ada di Denpasar, Mataram dan Yogyakarta. SKRRI 2002-03 mencatat bahwa 8 dari 10 penduduk berusia 15-24 tahun yang belum menikah pernah mendengar HIV/AIDS namun hanya 3 dari 10 penduduk berusia 15-24 tahun yang belum menikah yang mengetahui secara spesifik satu cara untuk menghindari atau mencegah penularan infeksi ini. Dalam kurun waktu yang hampir sama dari bulan Nopember 2002 – Nopember 2003, KISARA PKBI Bali juga melakukan sebuah survey di kalangan siswa SMA di Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan yang menyebutkan walaupun 66,82% dari responden bisa menyebutkan pengertian AIDS dengan benar, dan 75,95% juga benar menyebutkan penyebab AIDS, namun hanya 38,98% yang mengerti dengan baik cara penularannya. Bahkan hanya 24,32% yang bisa menyebutkan benar bahan di tubuh penderita yang bisa menularkan virus penyebab AIDS. Di samping itu juga hanya 44,77% yang bisa menjawab dengan benar apa saja cara pencegahan HIV/AIDS. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI, melaporkan bahwa sampai dengan Juni 2005 secara komulatif jumlah pengidap infeksi HIV secara nasional sudah mencapai 3.740 orang dan kasus AIDS mencapai 3.358 orang. Kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari DKI Jakarta, Papua, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara dan Riau. Rerata komulatif kasus AIDS Nasional berdasar laporan Departemen Kesehatan RI, sampai Juni 2005 sudah mencapai 1,67 jiwa per 100.000 penduduk. Rerata komulatif kasus AIDS untuk Provinsi Bali pada laporan yang sama berada pada urutan tiga besar yaitu mencapai 2,97 kali angka nasional, setelah Papua (15,36 kali angka naional) dan DKI Jakarta (11,59 kali angka nasional). Adapun cara penularan kasus AIDS dalam skala nasional 47,2 persen melalui IDU (Injecting Drug User/Pengguna Narkoba Suntik), melalui Heteroseksual (36,4 persen) dan melalui Homoseksual (5,8 persen). Proporsi komulatif kasus AIDS tertinggi ada pada kelompok umur 20-29 tahun (53,9 persen) disusul kelompok umur 30-39 tahun (25,6 persen) dan kelompok umur 40-49 tahun (8,5 persen). Permasalahan HIV/AIDS dewasa ini menjadi semakin penting mendapat perhatian semua pihak, karena sudah merupakan ancaman serius umat manusia di dunia. Khusus untuk kondisi Provinsi Bali, berdasar pada beberapa hasil survei, sekitar 1 persen penduduk laki-laki rentan di pedesaan maupun di perkotaan sudah terinveksi HIV. Sekitar 10 persen wanita penjaja seks (WPS) dan 50 sampai 70 persen pemakai narkoba suntik (IDU) di Bali sudah terinfeksi HIV. Jumlah penduduk di Bali yang saat ini diperkirakan telah dan atau sedang terinfeksi HIV mencapai 3.000 orang, dari jumlah itu, 1.900 orang laki-laki maupun perempuan diperkirakan terinfeksi melalui penularan hubungan seksual dan 1.100 orang terinfeksi melalui pertukaran jarum suntik pemakai narkoba. Dilaporkan pula, bayi dan anak-anak juga telah dijumpai tertular HIV dari ibu yang positive HIV. Sejak 1994, kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang sudah dilaksanakan di Provinsi Bali lebih difokuskan pada kelompok penduduk perilaku risiko tinggi, seksual maupun IDU atau kelompok penduduk High Risk Community agar tidak terinfeksi HIV (HIV+ Poeple). Perkembangan kasus HIV/AIDS yang semakin pesat, semakin membuka pemahaman pihak-pihak terkait berupaya melakukan pencegahan dan penannggulangan secara menyeluruh dan sistematis di masyarakat. REGULASI DAN KOMITMEN Sedikit sekali munculnya perubahan regulasi maupun perkembangan yang berarti dari undang-undang maupun aturan di daerah yang pro remaja. Padahal berbagai kebijakan kesehatan reproduksi remaja di Indonesia sebenarnya mulai mengacu pada kesepakatan ICPD di Kairo, yang diselenggarakan sudah sebelas tahun yang lalu yaitu tahun 1994, di sebuah konferensi kependudukan yang melahirkan sebuah komitmen tentang pemberdayaan remaja dan pemenuhan hak-hak remaja dan hak-hak reproduksi. Salah satunya adalah tentang upaya pemberian informasi, konseling dan pelayanan kesehatan reproduksi yang seluas-luasnya. Akhirnya upaya yang paling strategis sebagai langkah awal mungkin adalah lewat berbagai deklarasi dan komitmen-komitmen yang tentunya kekuatan hukumnya masih sangat lemah. Di Bali, tahun 2004 yang lalu, berbagai elemen lembaga peduli permasalahan kesehatan reproduksi remaja berkumpul dalam acara “Ajang Ngumpul Remaja” yang menyepakati bersama dalam sebuah deklarasi berjudul “Suara Remaja” yang berupa deklarasi sebagi berikut: Kami remaja Indonesia, Kami mendesak pemerintah, legislatif, masyarakat termasuk orang tua, dan sektor swasta untuk: 1) Menyediakan akses, informasi, pelayanan, pendidikan, dan perlindungan bagi kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual remaja di sekolah maupun luar sekolah dengan mengedepankan prinsip yang bersahabat dengan remaja (komunikatif, profesional, mudah dijangkau, dan menghormati hak-hak remaja). 2) Melibatkan remaja secara aktif untuk berpartisipasi dalam penyusunan, implementasi serta monitaring dan evaluasi program dan kebijakan kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual remaja. 3) Melibatkan remaja secara aktif dalam proses pembahasan RUU Kependudukan tahun 2004 terutama pada pasal-pasal yang berkaitan dengan remaja. 4) Mengimplementasikan dan mensosialisasikan program dan kebijakan kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual remaja secara sinergis dalam dan antar instansi, masyarakat, dan mass media. 5) Mengalokasikan sumber pendanaan dan sumber daya lainnya secara proporsional untuk penyediaan informasi, pelayanan, pendidikan dan perlindungan remaja atas risiko dan dampak kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual remaja. 6) Memfasilitasi pembentukan Komisi Nasional Kesehatan Reproduksi dan Kesehatan Seksual Remaja yang independen yang berperan sebagai lembaga konsultatif, koordinatif serta monitoring program dan kebijakan yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual remaja. Mengenai pendidikan kesehatan reproduksi, di Bali ada perkembangan cukup menggembirakan dengan dimotori oleh Departemen Pendidikan Kota Denpasar bekerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Bali, malah sudah selangkah lebih maju dengan telah menerapkan muatan silabus kurikulum HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi yang secara tekstual menginsersi materi ini ke dalam kurikulum sekolah dan telah melatih guru-guru pengajarnya mulai kelas 1 SMP hingga kelas 2 SMA. Yang dipakai sebagai bidang studi yang terintegrasi adalah satu pelajaran saja agar bisa lebih mudah diukur dan dievaluasi secara kognitif dan afektifnya. Dalam tingkat SMP dipilih pelajaran IPA, sedangkan di tingkat SMA kelas 1 di Biologi, di kelas 2 adalah Biologi untuk yang memilih jurusan IPA dan Sosiologi untuk yang jurusan IPS. Hal ini sudah dimulai pada tahun ajaran ini. Untuk meningkatkan tingkat psikomotor siswa, telah dilakukan upaya pembentukan dan revitalisasi Kelompok Siswa Peduli AIDS dan Narkoba (KSPAN) sebagai sebuah kelompok ekstrakurikuler. Akses kepada alat kontrasepsi juga masih sangat terbatas. Beberapa macam model kampanye telah dilakukan oleh berbagai lembaga, baik LSM maupun juga pihak swasta untuk mensosialisasikan penggunaan kondom. Termasuk sempat menyediakan mesin ATM kondom kerjasama BKKBN propinsi Bali dengan PKBI daerah Bali. Tetapi angka penggunaan kondom masih rendah, yaitu sekitar 20-30%. Di dunia terdapat sekitar 40 juta ODHA, dan setiap harinya 14.000 orang terinfeksi HIV. Dalam setiap enam detik terdapat penambahan satu kasus baru. Sehingga penghapusan pelacuran dan narkoba yang memerlukan usaha dan waktu yang sangat lama, sulit menjamin penghapusan HIV/AIDS dari muka bumi. Oleh karena itu gelombang tsunami epidemi HIV harus dicegah terlebih dahulu. Memahami keadaan ini dan mengacu kepada Komitmen Sentani maka pada tanggal 7 Mei 2004, jajaran pimpinan daerah di Bali, menandatangani Komitmen Sanur. Komitmen Sanur mengandung delapan butir kegiatan yang harus dilaksanakan: 1. meningkatkan penggunaan kondom pada setiap aktivitas seksual beresiko dengan target 60% pada akhir tahun 2005 dan menjadi 80% akhir 2007; 2. meningkatkan jangkauan dan cakupan kegiatan pengurangan dampak buruk pada semua penggunaan narkoba suntik termasuk di Lapas dengan target 75% pada akhir tahun 2005; 3. meningkatkan pelayanan dan dukungan yang komprehensif termasuk pemberian ARV pada setiap ODHA sekurang-kurangnya 200 orang pada akhir 2005 dan 500 orang pada akhir 2007; 4. mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap ODHA; 5. memperkuat dan memberdayakan peran dan fungsi KPAD Propinsi/Kabupaten/Kota di Bali; 6. mengupayakan dukungan peraturan perundangan dan penganggaran untuk pelaksanaan penangulangan HIV/.AIDS; 7. meningkatkan kampanye penanggulangan HIV/AIDS dengan melaksanakan pendidikan perubahan perilaku melalui semua jalur; 8. menggalang keterlibatan semua komponen masyarakat baik pemerintah, lembaga non-pemerintah, kelompok maupun perorangan. Saat ini di Bali telah memiliki Peraturan Daerah No.3 Tahun 2006, sebuah Perda Penanggulangan HIV/AIDS di Bali. PROGRAM DAN RESPON DARI PEMERINTAH DAN LSM Strategi program yang bisa dikembangkan dalam program KRR adalah beberapa hal berupa: mengembangkan seluas-luasnya pusat informasi dan pelayanan remaja yang ramah remaja, mengembangkan media informasi dan pendidikan, mengintegrasikan program remaja ke dalam program pencegahan HIV/AIDS dan IMS, memperkuat jaringan dan sistem rujukan ke pusat pelayanan kesehatan yang relevan, memperkuat pelayanan dan informasi bagi remaja termasuk meningkatkan perlindungan bagi remaja putri dan anak-anak untuk menghindari segala upaya eksploitasi dan kekerasan anak dan remaja. Juga melaksanakan penelitian atau riset tentang KRR dan kebijakan hak-hak reproduksi remaja, melatih orang tua dan guru tentang KRR dan hak-hak reproduksi remaja, meningkatkan kapasitas staf dan relawan youth center untuk memberikan pelayanan ramah remaja dan mengembangkan advokasi dengan isu pemenuhan hak-hak reproduksi remaja. Dari pihak pemerintah, yang mendapatkan porsi cukup besar menyelenggarakan program KRR ini adalah BKKBN dan Biro BKPP setda Bali, serta beberapa dinas terkait juga ada mengambil beberapa program yang juga menyasar permasalahan kesehatan reproduksi, misalnya Dinas Pendidikan & Kebudayaan dan Dinas Kesehatan. BKKBN menggunakan strategi pelaksanaan program berupa kemitraan yang sejajar dengan lembaga swadaya masyarakat dan organisasi kemanusiaan lainnya BKKBN saat ini mengembangkan empat pendekatan: institusi keluarga, kelompok remaja sebaya, institusi sekolah, dan tempat kerja Kebijakan yang dilaksanakan ke depan adalah peningkatan promosi KRR, peningkatan advokasi KRR, pengembangan KIE, peningkatan konseling KRR, peningkatan dukungan pelayanan bagi remaja dengan masalah khusus, peningkatan dukungan bagi kegiatan remaja yang positif. Melaui strategi: kemitraan dan pemberdayaan remaja Dengan beberapa pencapaian BKKBN propinsi Bali berupa kemitraan dengan LSM dalam bentuk PIK-KRR, pembinaan kelompok keluarga peduli remaja, bermitra dalam pembinaan kelompok remaja, pelatihan remaja dan orang tua sebagai fasilitator program KRR. Departemen Pendidikan Kota Denpasar sudah menerapkan muatan silabus kurikulum HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi di sekolah. Juga telah melakukan pembentukan dan revitalisasi Kelompok Siswa Peduli AIDS dan Narkoba (KSPAN) sebagai sebuah kelompok ekstrakurikuler termasuk pembentukan forum guru pembinanya. Secara sekilas juga bisa disampaikan bahwa untuk wilayah Propinsi Bali, upaya sosialisasi kegiatan kesehatan reproduksi masih dimotori oleh LSM PKBI Daerah Bali, dengan tulang punggungnya adalah KISARA untuk program KRR nya sejak tahun 1994. KISARA PKBI Bali juga berkontribusi dalam memposisikan salah satu relawannya sebagai salah satu anggota dari 20 anggota Indonesia Youth Partnership (IYP), yang merupakan relawan remaja yang diposisikan sebagai advokat remaja. Yang agendanya adalah membahas isu KRR local ke level nasional dan membahasnya bersama dengan pihak legislative langsung (DPR). Beberapa jaringan kerjasama antar lembaga juga dikembangkan di Bali antar LSM yang sama-sama bergerak di bidang kesehatan reproduksi, seksualitas, AIDS dan narkoba. Di samping PKBI dan KISARA juga ada Yayasan Sehati dan Yayasan Rama Sesana yang berkonsentrasi di pendampingan kesehatan reproduksi perempuan, Yayasan Kerti Praja dan Yayasan Citra Usadha di pendampingan pencegahan IMS dan HIV/AIDS pada kalangan berisiko tinggi, Baliplus di pemberian dukungan terhadap ODHA. Kemudian ada Yakeba, Yayasan hati-hati dan Matahati yang bergerak di pendampingan pecandu narkoba dan harm reduction (upaya mengurangi dampak buruk penggunaan narkoba suntik), Yakita dan Yayasan Bali Nurani di bidang rehabilitasi pecandu narkoba, Kelompok Tunjung Putih yang melakukan pembinaan terhadap ODHA perempuan dan juga beberapa lembaga pendampingan terhadap kasus pelecehan dan kekerasan perempuan seperti Bali Sruti dan LBH Bali. Dari sektor swasta juga telah terbentuk sebuah komunitas peduli HIV/AIDS dan beasiswa kepada anak ODHA yang bernama Bali Community Cares (BCC), yang saat ini tengah memproduksi film HIV/AIDS remaja bersama KISARA berjudul “3 Ruang” yang akan menjadi salah satu media utama kampanye HIV/AIDS di Bali tahun 2006. LIFE SKILL KKBN menyebutkan tantangan mereka adalah kurangnya upaya pelibatan dan pemberdayaan remaja sejak dari mulainya perencanaan program, dan beberapa kegiatan yang sifatnya meningkatkan kemampuan psikomotor juga dari instatnsi pemerintah secara umum di materi kesehatan reproduksi masih sangat kurang. Pendekatan yang sudah berjalan cukup lama justru dilakukan oleh beberapa LSM dengan mengikutsertakan remaja dan siswa sekolah dalam kegiatannya. Sejak tahun 1994 KISARA PKBI Bali melakukan pemberdayaan di bidang kesehatan reproduksi dan pengembangan life skill dengan merekrut langsung remaja sebagai relawan remaja, yang selanjutnya diberdayakan lewat berbagai pelatihan remaja. Atau juga dengan mengundang remaja sekolah ikut dalam beberapa pelatihan tersebut. Sejak dua tahun belakangan ini juga UNICEF ikut memberdayakan remaja lewat program Muda Berdaya yang dijalani oleh Yakita, tetapi masih terbatas di pendampingan akan bahaya narkoba. BKKBN propinsi Bali juga mulai tahun ini mengembangkan pendidik sebaya berlabel PIK-KRR di masing-masing kabupaten yang ada di Bali yang muatan juga di samping pemberdayaan pendidik sebaya, juga ada muatan pemberian life skill di dalamnya. Yang cukup menarik adalah revitalisasi KSPAN oleh Dinas Pendidikan Kota Denpasar bekerjasama dengan KPA propinsi Bali. KSPAN awalnya dibentuk di masing-masing sekolah di tingkat SMP dan SMA di Denpasar, sebagai sebuah kelompok ekstrakurikuler. KSPAN diharapkan sebagai jembatan untuk upaya penyeimbang materi HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi yang telah diberikan dalam kurikulum terintegrasi yang sifatnya meningkatkan kognitif dan afektif saja, sedangkan KSPAN adalah upaya menmingkatkan kemampuan psikomotornya, dan materi-materi life skill akan banyak diinsersi di kelompok ini. Saat ini di Denpasar sudah terbentuk Forum Guru Pembina KSPA tingkat SMP dan SMA. Revitalisasi KSPAN ini sekarang sudah dilakukan di seluruh kabupaten di Bali. PROGRAM DAKU YANG DISUPPORT WPF Salah satu bentuk upaya melakukan sosialisasi dan pemberdayaan remaja sekolah dalam hal penyadaran hak-hak reproduksi dan seksualitasnya adalah lewat program edukasi berbasiskan teknologi informatika dalam kemasan CD-ROM dengan program flash, bernama DAKU! (Dunia Remajaku, Seru!). Program ini disupport sepenuhnya oleh World Population Foundation (WPF). Modul DAKU! merupakan panduan bagi remaja dalam proses mengembangkan citra diri yang realistis, rasa percaya diri, menerima perubahan saat pubertas, memahami peranan jender untuk menjadi lebih mandiri, membina hubungan, memiliki keputusan mengenai aktivitas kegiatan seksual, dan kemampuan bernegosiasi untuk tidak melakukan hubungan seksual atau berperilaku yang aman. Modul ini memandu remaja dan mendukung usaha untuk mencegah terjadinya Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD) dan Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS. Pelajaran terakhir pada modul adalah membahas masalah kesehatan reproduksi dan seksual serta dampaknya; misalnya membantu remaja menghadapinya dan mencari dukungan untuk masalah kesehatan reproduksi/seksual; memahami, menghindari dan menangani pelecehan dan kekerasan seksual. DAKU! sangat tepat dan cocok untuk dilaksanakan di Bali, khususnya di Denpasar. Program ini diadaptasi dari program World Starts With Me (WSWM) yang dimulai di Uganda, bersama yayasan Pelita Ilmu (YPI), program WSWM ini diadaptasi menjadi DAKU! di Indonesia. Di Bali, sekolah yang telah bisa bekerjasama untuk melaksanakan program DAKU! ini adalah SMA 4 Denpasar, SMA 2 Denpasar dan SMA 3 Denpasar. Dengan pertimbangan secara teknis mereka juga sudah lebih siap dibanding sekolah lainnya. Ketiga sekolah ini sudah menyeleksi dan merekomendasikan 3 orang gurunya untuk bisa terlibat di program DAKU! ini dan telah bersedia bekerja sama dalam pelaksanaan DAKU! sebagai guru-guru yang bisa mengajarkan permasalahan kesehatan reproduksi dan seksualitas kepada siswanya. Untuk tahun ajaran baru ini ada 6 sekolah baru yang bergabung ikut menyelenggarakan program DAKU! yaitu SMA 1 Denpasar, SMA 5 Denpasar, SMA Saraswati, SMA Kertha Wisata, SMKTI Global dan Sekolah Dyatmika. Bahkan Sekolah Dyatmika sepakat menjalankan program ini sebagai program intrakurikuler penuh. LAINNYA Dalam waktu dekat juga telah dimunculkan kegiatan pendukung untuk bisa menampung aktivitas remaja, memberikan akses informasi dan pelayanan kepada permasalahan remaja yang akan didukung oleh Ford Foundation dalam bentuk wadah Integrated Youth Center (IYC), yang konsepnya segera dicobakan lewat KISARA PKBI Bali dengan dukungan teknis dari Bali Youth Foundation (BYF).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar